Sumber: google |
Sitanggang Pos - Jakarta
Anjloknya mata uang lira membuat Turki mengalami krisis mata uang. Negara ini juga kekurangan likuiditas setelah banyak dana asing yang keluar.
Melihat kondisi tersebut, China membuka peluang untuk memberikan bantuan likuiditas kepada Turki. Tawaran itu sepertinya disambut baik, mengingat kedua negara itu saat ini memiliki musuh yang sama yakni Amerika Serikat (AS).
Namun bantuan dari China sepertinya bukan obat mujarab untuk menyembuhkan ekonomi Turki. Akan ada efek samping yang timbul setelahnya.
China secara terbuka memberikan dukungan kepada Turki yang tengah dilanda krisis ekonomi.
Kementerian Luar Negeri China pada Jumat pekan lalu mengatakan bahwa China percaya bila Turki bisa menyelesaikan permasalahan ekonomi yang sedang mendera.
"China percaya bahwa Turki memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan ekonomi sementara, dan berharap pihak-pihak terkait dapat mengurangi perbedaan mereka melalui dialog," kata juru bicara Departemen Luar Negeri China Lu Kang seperti dikutip dari Reuters.
Lu Kang juga mengatakan bahwa China juga akan terus mempererat kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, hingga keuangan dengan Turki sebagai bentuk dukungannya.
"Stabilitas dan pembangunan Turki kondusif bagi perdamaian dan stabilitas regional," kata Lu Kang.
Diketahui, perserteruan Turki dan AS kian panas. Pengadilan Turki menolak membebaskan pendeta asal AS yang ditahan di Turki, Andrew Brunson. Mata uang Turki, lira pun terkena dampaknya.
Pada Jumat lalu, nilai tukar lira kembali melemah 4% terhadap dolar AS setelah pengadilan Turki menolak permohonan pendeta Amerika untuk dibebaskan. Padahal, nilai tukar lira sendiri telah anjlok hingga 40% pada tahun ini.
Pada Jumat sore waktu setempat, nilai tukar lira tercatat berada di level 6,04 terhadap dolar, atau melemah 4%. Bahkan pada sesi sebelumya lira turun sebanyak 7%.
Memiliki musuh yang sama yakni Amerika Serikat (AS), membuat China berencana memberikan bantuan kepada Turki. Harapannya agar ekonomi Turki membaik.
China akan memberikan bantuan likuiditas kepada Turki melalui surat utang. Turki akan menerbitkan surat utang dalam bentuk Yuan.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, yang paling diuntungkan dari aliansi antara kedua negara tersebut adalah China. Sedangkan bagi Turki hanya bersifat sementara.
"Pertama, krisis Turki dikhawatirkan memicu efek domino ke China karena masuk dalam kelompok emerging market. Dalam seminggu terakhir bursa saham China ditutup melemah -0,8% seiring memburuknya kondisi Turki dan perang dagang dengan AS," tuturnya kepada detikFinance.
Dengan memberi pinjaman ke Turki, China berharap kepanikan likuiditas bisa mereda. Tapi menurut Bhima itu hanya obat sementara, mengingat Turki memiliki masalah struktural defisit transaksi berjalan 5,9% terhadap PDB dan defisit anggaran 2,8%. Artinya dana asing masih rentan keluar dari Turki.
Lalu, bagi China menolong Turki bisa membuka ruang untuk menguasai ekonomi Global. Posisi tawar China akan lebih kuat khususnya terhadap AS.
"Tensi perang dagang China dengan AS akan semakin meruncing karena Turki adalah anggota Nato yang sebelumnya loyal ke AS," tambahnya.
China sendiri sudah cukup agresif untuk masuk ke Turki. Beberapa perusahaan China dalam beberapa tahun kebelakang sudah masuk ke industri telekomunikasi dan pelabuhan di Turki.
China juga memiliki peluang untuk memberi pinjaman dengan jaminan aset BUMN Turki. Di sinilah China memiliki peluang besar untuk memperkuat dominasinya.
China akan beraksi sebagai pahlawan bagi Turki. China akan memberikan bantuan likuiditas melalui surat utang yang akan diterbitkan oleh Turki.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) Bhima Yudhistira, bantuan tersebut akan menjadi obat temporer bagi Turki yang mengalami krisis maya uang. Namun obat itu ada efek sampingnya yakni munculnya dominasi China.
China memiliki peluang untuk memberi pinjaman dengan jaminan aset BUMN Turki. Di sinilah China memiliki peluang besar untuk memperkuat dominasinya di Turki.
"Diujung jalan dominasi China memakan korban seperti Srilanka dan Maladewa yang akhirnya harus menyerahkan pengelolaan proyek infrastrukturnya kepada perusahaan China," ujarnya kepada detikFinance, Minggu (19/8/2018).
Turki pun, kata Bhima bisa bernasib sama dengan kedua negara itu sebagai korban dominasi utang China. Apalagi bunga dari surat utang Turki untuk tenor 10 tahun mencapai 21,17%.
"Beban bunga yang tinggi tentunya menambah resiko default karena Turki tetap harus melunasi utang ke China," pungkasnya. (detik.com)